Sebenarnya surat ini ingin kukirimkan
kepadamu wahai engkau yang mampu melumpuhkan hatiku. Surat ini ingin
kuselipkan dalam satu kehidupanmu, namun aku hanya wanita yang tak
memiliki keberanian dalam mengungkapkan semua percikan-percikan rasa
yang terjadi dalam hatiku. Aku hanya dia yang engkau anggap tidak lebih,
aku hanya merasa seperti itu.
Assalamu’alaikum wahai engkau yang melumpuhkan hatiku
Seperti
yang engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu
berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku
dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.
Takukah
engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa aku dengan
mudah berkata “cinta” kepada mereka yang tak kucintai namun kepadamu,
lisan ini seolah terkunci. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah
berkata bahwa aku mencintaimu, walau aku teramat sakit saat mengetahui
bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai walaupun itu hanya sebagian
dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut
engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk
mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang
terjadi adalah tolakan-tolakan dan lonjakan yang membuatku semakin tidak
mengerti.
Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa
engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu, sakit memang,
sakit terasa dan begitu amat perih. Namun 1000 kali rasa itu lebih baik
saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti bagiku.
Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan
aku mengerti bahwa aku harus mengalah.
Wahai engkau yang
melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku
ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit
saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat
hati ini terus mengingatmu. Jarang aku memandang lelaki, namun satu
pandangan saja mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini. Andai aku
buta, tentu itu lebih baik daripada harus kembali lumpuh seperti ini.
Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah
kumintai pendapat. Sebagian mendorongku untuk mengakhiri segala
prasangku tentangmu tentang dia karena sebahagian prasangka adalah suatu
kesalahan,mereka memintaku untuk membuka tabir lisan ini juga untuk
menutup semua rasa prasangmu terhadapku. Namun di titik yang lain ada
dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal
yang telah tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah
yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).
Wahai
engkau yang telah melumpuhkan hatiku, Masih banyak sisi lain
hidup ini yang harus ku kelola dan kutata kembali. Juga kamu wahai yang
telah melumpuhkan hatiku, kamu yang dengan halus menolak diriku menurut
prasangkaku dengan alasan belum saatnya memikirkan itu. Sungguh aku
tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung ke sebuah kefatalan
kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku tidak ingin BERPACARAN
denganmu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin
saat ini hatiku milikmu, namun tak akan kuberikan setitik pun saat-saat
ini karena aku telah bertekad dalam diriku bahwa saat-saat indahku hanya
akan kuberikan kepada IMAM-ku. Wahai engkau yang telah melumpuhkan
hatiku, tolong bantu aku untuk meraih Imam-ku bila dia bukanmu.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa
saat-saat inilah yang paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia
tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu, tentu aku akan berterus terang kepadamu bahwa aku mencintaimu
Andai
rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak berusaha menjauhimu.
Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik
yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus
mengorbankan iman dan maluku hanya demi hal yang tampak sepele yang
demikian itu.
Aku yang tidak mengerti diriku…
Namun wahai yang telah
melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku
merasa saat-saat ini pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam
diriku bila aku melupakanmu. .. aku takut tak akan pernah lagi
menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.
Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku,
mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia akhir yang
terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis
ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu ini
pada tempatnya.
Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar