Aku berlari dengan nafas memburu. Otakku seakan berhenti berpikir, dada
sesak, penuh, semua sesal dan sedih berkecamuk jadi satu. Kususuri
jalanan yang masih sedikit basah karena hujan kemarin malam. Aku
benar-benar kalut. Bingung. Pikiranku mulai bergumam sendiri dengan
batinku.
“Beginikah jadinya? Beginikah rasanya mengakhirkan harapan?
Beginikah rasanya menghentikan cinta yang sudah terlanjur dalam?
Aku harus berkata apa?
Bertanya pada siapa?”
Jalanan ini tentu saja takkan memberi jawab. Sore menuju senja yang
selalu indah ini tentu saja takkan menenangkanku. Aku tak bisa berbuat
apa-apa selain kekalutan yang luar biasa menghinggapi dada.
Haruskah ku buang jauh-jauh penggal harap yang entah kenapa masih membuatku sesak ketika kutahu aku tak bisa memilikimu cinta?
Haruskah aku membalikkan semua waktu agar perasaan ini tidak pernah ada di dalam diri? Atau setidaknya…
Ahh… Allah… mungkinkah kau izinkan aku mengembalikan kekosongan jiwa
agar yang terisi hanya KAMU? Hanya KAMU ya Rabb… Hanya KAMU… hanya KAMU
yang kucinta. Mungkinkah ya Rabb?”
Dadaku semakin sesak. Air mata lagi-lagi dengan tak sopannya keluar
tanpa pernah mau kuperintahkan. Aku wanita, dan kini aku menangis.
“Aku benci dengan perasaan ini. Benci dengan keadaan ini.
Aku sadar aku harus bangkit.
Kukuat-kuatkan hatiku agar tetap seperti dulu. Tenang dan segar. Namun
percuma. Setiap larian kecilku mengelilingi jalanan hijau ini, membuatku
semakin tergugu.
Cinta… atau entah apa namanya. Kenapa begitu mempengaruhiku hingga semua
alam rasionalku pergi entah kenapa.
“Sedalam inikah perasaanku? Separah inikah aku tenggelam dalam cinta yang semu?
Jika memilikimu bukanlah takdirku, maka tolong berilah aku kesempatan untuk pergi darimu. Sejenak melupakan apapun tentangmu.
Aku ingin amnesia sejenak, tak pernah mengenal siapapun terutama kamu
dari hidupku. Ini terlalu menghempaskan. Merebut semua rasaku.
“Andai pesonamu hanya sesederhana bunga jalanan…
Maka mungkin sedari dulu telah kulupa…
Tapi pesonamu adalah pesona edelweiss yang sulit tuk kugapai dan kupetik tangkainya.
Pesonamu adalah pesona menggetarkan yang terpancar dari kecintaanmu pada Allah bersama orang-orang yang mencintai-Nya.
Jika sebegitu kuat pesonamu menarikku, apa lagi yang harus kukata jika memang padamu, segala cinta ini telah terenggut?”
Aku menangis lagi, Sungguh ini begitu berat terasa. Aku
sungguh idiot, sungguh tolol, bagaimana bisa aku mengingatnya dalam
ingatannya yang begitu sulit untuk kulupa.
“Allah…
Beginikah jadinya jika aku berani bermain hati? Beginikah jadinya jika
aku menyisihkan cinta-Mu yang agung dan begitu purna? Beginikah
akibatnya?
Tidak seharusnya aku larut dalam kesedihan yang sebagian besar karena
ulahku. Kenapa aku sebegini terlukanya, sedang Allah telah menyediakan
begitu banyak hikmah dan nikmat yang ada di tiap lembar hariku. Kenapa
aku se sedih ini sedang Allah telah banyak memberiku kesempatan untuk
melejit, melangkah, dan berbuat banyak hal untuk dunia. Ahh… aku kalah,
kalah dengan godaan syetan yang memabukkan rasa di dalam dada.
Kukuatkan diriku ketika muhasabahku terhenti dengan lantunan azan subuh di Masjid dekat rumahku
Subuh itu. Adalah subuh penghambaan penuh kekhusyuan yang pernah kurasa dalam hidupku.
“Allah… Jika dia memang bukan yang terbaik bagiku… Maka gantikanlah yang
lebih darinya… Sempurnakan agamaku dengan
seseorang yang akan kucintai sepenuh jiwaku Dan akan kujadikan ia
sebagai belahan hati terindah di dunia. Namun jagalah agar hati ini
selalu ada KAMU ya Rabb… hanya ada KAMU… bukan yang lain…”
Kuseka air mataku yang masih mengalir di ujung doa ku subuh ini. Mencoba menguati hati agar mampu melangkah.
“Jika tak hari ini, maka aku akan kalah selamanya…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar